Kamis, September 11, 2008

Yu Timah

Dicuplik dari RESONANSI – Republika, Desember 2006, oleh Ahmad Tohari

Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.

Usia Yu Timah sekitar 50-an, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Menginjak remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran PRT. Dia kembali ke kampung. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Anak itu pun harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan PRT dan lagi-lagi terdampar di Jakarta.

Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untunglah di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di BPR syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya.
Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya mau beli kambing qurban, Pak. Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing qurban.
''Iya, Yu. Senin lusa uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berqurban. Yu Timah bahkan wajib menerima qurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing qurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berqurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging qurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran qurban yang diwariskan Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu.

Duhai Yu Timah. Kamu yang belum naik haji, atau malah tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berqurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing qurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Selasa, September 09, 2008

Mimpi ke Surga

Aku bermimpi suatu hari aku pergi ke surga dan seorang malaikat
menemaniku serta menunjukkan keadaan di surga.
Kami berjalan memasuki suatu ruang kerja yang penuh dengan para malaikat.
Malaikat yang mengantarku berhenti di depan ruang kerja pertama dan berkata,

”Ini adalah Seksi Penerimaan.
Disini, semua permintaan yang ditujukan pada Allah, diterima".

Aku melihat-lihat sekeliling tempat ini dan aku dapati tempat ini begitu sibuk dengan begitu

banyak malaikat yang memilah-milah seluruh permohonan yang tertulis pada kertas dari manusia di seluruh dunia.

Kemudian,....
aku dan malaikat-ku berjalan lagi melalui koridor yang panjang.
Lalu sampailah kami pada ruang kerja kedua. Malaikat-ku berkata,

"Ini adalah Seksi Pengepakan
dan Pengiriman. Disini, kemuliaan dan rahmat yang diminta manusia diproses
dan dikirim ke manusia-manusia yang masih hidup yang memintanya".

Aku perhatikan lagi betapa sibuknya ruang kerja itu. Ada banyak malaikat
yang bekerja begitu keras karena ada begitu banyaknya permohonan yang dimintakan
dan sedang dipaketkan untuk dikirim ke bumi.

Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai pada ujung terjauh koridor panjang tersebut
dan berhenti pada sebuah pintu ruang kerja yang sangat kecil.
Yang sangat mengejutkan aku, hanya ada satu malaikat yang duduk disana, hampir tidak melakukan apapun.

"Ini adalah Seksi Pernyataan Terima Kasih", kata Malaikatku pelan. Dia tampak malu.

"Bagaimana ini? Mengapa hampir tidak ada pekerjaan disini?", tanyaku.

"Menyedihkan", Malaikat-ku menghela napas."Setelah manusia menerima rahmat yang mereka minta, sangat sedikit manusia yang mengirimkan pernyataan terima kasih".

"Bagaimana manusia menyatakan terima kasih atas Rahmat Tuhan?", tanyaku.

"Sederhana sekali", jawab Malaikat.
"Cukup berkata, 'ALHAMDULILLAHIRABBIL AALAMIIN, Terima kasih, Tuhan' ".

"Lalu, rahmat apa saja yang perlu kita syukuri?”, tanyaku.

Malaikat-ku menjawab,

"Jika engkau mempunyai makanan di lemari es, Pakaian yang menutup tubuhmu, atap di atas kepalamu dan tempat untuk tidur, Maka engkau lebih kaya dari 75% penduduk dunia ini.

"Jika engkau memiliki uang di bank, di dompetmu, dan uang-uang receh, maka engkau berada diantara 8% kesejahteraan dunia.

"Dan jika engkau mendapatkan pesan ini di komputermu, engkau adalah bagian dari 1% di dunia yang memiliki kesempatan itu.

Juga.... "Jika engkau bangun pagi ini dengan lebih banyak kesehatan daripada kesakitan ...
engkau lebih dirahmati daripada begitu banyak orang di dunia ini yang tidak dapat bertahan
hidup hingga hari ini.

"Jika engkau tidak pernah mengalami ketakutan dalam perang, kesepian dalam
penjara, kesengsaraan penyiksaan, atau kelaparan yang amat sangat ....
Maka, engkau lebih beruntung dari 700 juta orang di dunia".

"Jika,........engkau dapat menghadiri Masjid atau pertemuan religius tanpa ada ketakutan
akan penyerangan, penangkapan, penyiksaan, atau kematian ...
M a k a,.... engkau lebih dirahmati daripada 3 milyar orang di dunia.

"Jika,....orangtuamu masih hidup dan masih berada dalam ikatan pernikahan ...
Maka,..... engkau termasuk orang yang sangat jarang.

"Jika engkau dapat menegakkan kepala dan tersenyum, maka,.....
engkau bukanlah seperti orang kebanyakan, engkau unik dibandingkan
semua mereka yang berada dalam keraguan dan keputusasaan.

"Jika,...engkau dapat membaca pesan ini, maka engkau menerima rahmat ganda
yaitu bahwa seseorang yang mengirimkan ini padamu, berpikir bahwa engkau
orang yang sangat istimewa baginya, dan bahwa, engkau lebih dirahmati
daripada lebih dari 2 juta orang di dunia yang bahkan tidak dapat membaca sama sekali".

Nikmatilah hari-harimu, hitunglah rahmat yang telah Allah anugerahkan kepadamu.
Dan jika engkau berkenan, kirimkan pesan ini ke semua teman-temanmu untuk mengingatkan mereka betapa dirahmatiNya kita semua.

"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu menyatakan bahwa,
'Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Aku akan menambahkan lebih banyak
nikmat kepadamu' "(QS:Ibrahim (14) :7 )

Ditujukan pada :
Departemen Pernyataan Terima Kasih:
"Terima kasih, Allah!
Terima kasih, Allah, atas
anugerahmu berupa kemampuan
untuk menerjemahkan dan membagi pesan ini dan
memberikan aku begitu banyak
teman-teman yang istimewa untuk saling berbagi".

Mawar untuk Ibu

Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dipaketkan kepada ibunya yang tinggal sejauh 250 km darinya. Baru keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu bertanya,”Mengapa kau menangis adik?”
Gadis kecil itu menjawab , “Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk ibu saya. Tapi saya cuma punya uang seribu rupiah saja, sedangkan harga mawar itu lima ribu rupiah”.

Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut, aku akan membelikanmu bunga yang kau mau”. Kemudian ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesan karangan bunga untuk dikirimkan ke ibunya sendiri.

Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantar gadis kecil itu pulang ke rumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, katanya, ”Ya tentu saja. Maukah anda mengantarkan ke tempat ibu saya?”.

Kemudian mereka berdua menuju ke tempat yang ditunjukkan gadis kecil itu, yang ternyata adalah pemakaman umum, dimana lalu gadis itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah.

Melihat hal itu, hati pria itu menjadi trenyuh dan teringat sesuatu. Bergegas, ia kembali menuju toko bunga tadi dan membatalkan kirimannya. Ia mengambil karangan bunga yang dipesannya dan mengendarai sendiri kendaraannya sejauh 250 km menuju rumah ibunya. (diadaptasi dari : Rose for Mama – C.W. McCall)
(Buat ibu, aku akan pulang.... menempuh 1000 km jarak kita, agar aku bisa bersimpuh memohon ampunmu, atas ketidakmampuanku membalas kasih sayangmu)