Minggu, Oktober 19, 2008

Dan.... Mautpun Menjemput Kekasih Allah

Pagi itu, meski langit mulai menguning, burung-burung gurun masih enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah, dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasihNya maka taati dan bertakwalah kepadaNya. Kuwariskan dua hal pada kalian, AlQur’an dan sunnah. Barangsiapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bersama-sama memasuki surga bersamaku.”

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Sedangkan dada Umar terlihat naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya telah tiba.

Rasulullah akan meninggalkan kita semua”, desah hati para sahabat di kala itu.
Manusia tercinta itu hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda semakin kuat tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Ketika itu, seluruh sahabat yang hadir pasti akan menahan detik-detik yang diteteskan sang waktu, bila mungkin.

Matahari kian tingggi, tapi pintu kediaman Rasulullah masih tertutup. Di dalamnya beliau sedang terbaring lemah dengan kening yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru mengucapkan salam.
Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Namun Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata putri Rasulullah itu sambil membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani sang ayah yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?
Tak tahulah aku, Ayah. Sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.

Rasulullah menatap putrinya dengan pandangan yang menggetarkan, seolah beliau ingin menyimpan satu-satu bayangan wajahnya dalam ingatannya.
Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah.

Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertai.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia untuk menjemput ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.

Rasulullah tampak tidak lega, matanya masih penuh kecemasan.
Tidakkah Engkau senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril.

Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?
Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya’”, kata Jibril.

Detik-detik hidup sang manusia tercinta hampir habis, saatnya Izrail melakukan tugas.
Perlahan ruh Rasulullah ditarik, seluruh tubuh beliau tampak bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.

Jijikkah kau melihatku hingga kau palingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.

Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan.
Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.”

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan tangannya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya.

Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu.

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat pun berpelukan menguatkan diri. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

Ummatii, ummatii, ummatii,”__umatku, umatku, umatku.

Dan pupuslah kembang hidup manusia mulia itu...

Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi.

Saudaraku,
Manusia paling mulia masih merasakan sakit dalam sakaratul mautnya, bagaimana dengan kita yang bergelimang dosa??

Manusia paling mulia masih memikirkan nasib umatnya dikala sakaratul mautnya, bagaimana kita akan membalasnya??

Memaknai Laskar Pelangi


“PN Timah memang keterlaluan, sudah mengekploitasi kekayaan alam Belitong, mambantu pendidikan warga miskinpun tak mau” Seorang temen dengan emosi ngomel sehabis nonton film Laskar Pelangi.
“Depdikbud (sekarang Depdiknas) juga keterlaluan, bukannya dibantu malah pake batasan jmlh murid segala” temen yang lain menimpali.

Ya, demam Laskar Pelangi emang lagi marak dimana-mana. Film yang menguras emosi tersebut menjadi booming disemua cineplex. Banyak penonton harus rela antri berjam-jam untuk mendapat tiketnya.
Di tengah maraknya film nasional bertema hantu norak dan religi yang mulai menjemukan, kehadiran Laskar Pelangi jelas memberi pencerahan tersendiri terhadap warna film-film Indonesia. Kemampuan Riri Reza dan Mira Lesmana mengadaptasi Novel karya Andrea Hirata tersebut pantas diacungi jempol. Dengan sinematografi yang bagus, tidak salah kalo dibilang film ini sebagai salah satu film adaptasi terbaik.

Tapi ada sedikit kekhawatiran tentang cara kita memaknai film ini. Sebenarnya laskar pelangi menyampaikan banyak pesan kepada kita, tentang tanggung jawab, kepedulian, kebersamaan, kesederhanaan, pengorbanan tuk sesama, semangat dan perjuangan yang tak kenal menyerah, dsb. Dan pesan itu bukan hanya untuk Pemerintah atau BUMN, melainkan juga untuk kita semua, baik sebagai individu maupun masyarakat. Pesan yang, -menurut banyak orang-, pas digulirkan saat ini.
Namun, mungkin masih banyak diantara kita yang tidak (baca : tidak mau) menangkap pesan itu, dan cenderung menyalahkan pihak lain seperti Pemerintah atau PN Timah atas terjadinya kondisi seperti yang dialami murid-mrid SD Muhammadiyah Gantong tersebut.
Jika ini yang terjadi, maka Laskar Pelangi tidak akan berbekas apa-apa. Emosi yang merasuki jutaan penonton hanya akan menimbulkan retorika sesaat yang akan segera hilang ditelan waktu.

Karena itu, ada baiknya Laskar Pelangi kita jadikan sebagai cermin untuk memelototi dan merenungi diri kita sendiri. Agar semangat berkorban dan kepedulian bu muslimah, atau ketabahan dan kegigihan lintang, juga kesetiakawanan ikal-kucai-mahar dan anak-anak lainnya, dapat kita teladani dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita.